Si Pencari


Saya manusia tipe pencari. A seeker.  Untuk urusan keyakinan, saya selalu mencari dan mencari. Tidak pernah puas. Resikonya adalah dianggap tidak konsisten oleh, lagi-lagi, orang lain. Ya, orang lain yang terlalu sibuk hanya  memikirkan orang lain, yang tidak terlalu percaya diri dengan keyakinannya sendiri dan selalu mencari 'kambing hitam'. Untuk urusan keyakinan, saya kurang nyaman kalau hanya sekedar harus tunduk dan ’menerima’. Maka itu saya selalu mencari yang terbaik untuk saya, yang paling mendamaikan saya terutama kedamaian dengan diri saya sendiri. 

Keyakinan buat saya adalah sesuatu yang sangat pribadi dan mandiri. Tidak boleh mudah terpengaruh oleh pandangan orang lain. Tidak boleh mudah percaya apa kata orang sekalipun itu orang tua ataupun orang terdekat kita. Pandangan setiap orang terhadap agama dan keyakinannya adalah personal dan tentunya setiap orang akan punya pandangan berbeda berdasarkan pengalaman spiritualnya masing-masing. Ya, agama dan keyakinan adalah urusan saya dengan apapun itu yang sering banyak disebut orang sebagai  ‘Tuhan’. 

Saya rasa tidaklah masuk akal ketika saya menjalani hidup dan memilih untuk sesuatu hal yang bahkan paling pribadi sekalipun masih harus mengikuti ekspektasi orang lain. Kalau begitu terus, lalu kapan saya punya waktu untuk benar-benar mendengarkan ekspektasi saya sendiri? Keinginan saya sendiri? Menentukan jalan hidup memang tidak mudah dan seringkali kitapun memerlukan bimbingan mereka yang dianggap 'lebih tahu' tapi haruskah selalu 'mengikutsertakan' ekspektasi orang lain, rasa takut tidak enak dengan perasaan orang lain, obligasi secara moral terhadap orang lain? 

Saya pribadi memutuskan: tidak. 

Peduli setan dengan ekspektasi orang lain. Apakah saya ini liberal? Moderat? Fanatik? Entahlah, yang pasti saya tidak pernah berusaha meluangkan waktu untuk mengurusi keyakinan dan persepsi orang lain mengenai agama dan kepercayaannya. Dan untuk urusan tidak mau ikut sibuk ini, saya cukup fanatik. Anda bagaimana?


Semoga semua mahluk berbahagia. 






And The Story Continues...


Nama yang sudah tidak asing lagi bagi pecinta musik Indonesia. Marcell Siahaan atau lebih dikenal sebagai Marcell memulai karirnya di industri musik Indonesia ditahun 2002 lewat lagu 'Hanya Memuji' ciptaan Melly Goeslaw, duetnya bersama Shanty didalam kompilasi “Duet Cinta” produksi Warner Music Indonesia. Banyak lagu hits yang telah dihasilkan oleh vokalis yang sudah mengenal banyak referensi musik sejak kecil ini. Dan selain musik, solis yang juga menggemari olah raga beladiri Tai-Chi, Wing Chun, Jeet Kune Do dan Pencak Silat ini juga mendalami dunia seni peran. Tiga buah film sudah dibintanginya yaitu “Andai Ia Tahu” (2003), “Laskar Pemimpi” (2010) dan “Madame X” (2010).

Bersama Warner Music Indonesia, Marcell sudah menghasilkan tiga buah lagu yaitu ‘Hanya Memuji’, duetnya bersama Shanty dalam kompilasi “Duet Cinta”, ‘Ketika Kau Menyapa’ dan ‘Heaven Is Not’ yang ada didalam album soundtrack film “Andai Ia Tahu” yang dibintanginya bersama Rachel Maryam, dan tiga buah album yaitu “Marcell” (2003) dan “Marcell: Repackaged (2004) dengan tambahan dua lagu baru ciptaan Tengku Shafick yaitu ‘Ku Tak Mendua’ dan ‘Mendendam’, “Marcell: Denganmu” (2006) dan “Marcell: Hidup” (2008). Setelah Marcell menyelesaikan kontrak rekamannya bersama Warner Music Indonesia untuk kemudian bergabung dengan E-Motion Entertainment ditahun 2010, Marcell mengeluarkan dua buah lagu yaitu ‘Takkan Terganti’ ciptaan Yovie Widianto dan diaransemen oleh Tohpati diawal tahun 2010 dan ‘Peri Cintaku’, masih ciptaan Yovie Widianto namun diaransemen oleh Andi Rianto dipertengahan tahun 2010. Dan ‘Sisa Semalam’, lagu ketiga yang pada akhir April 2011 lalu baru saja dirilis, mendapat respon yang sangat baik dari pecinta musik Indonesia. Lagu ini merupakan cover version dari lagu yang diciptakan dan dipopulerkan oleh grup asal Bandung, Java Jive sekitar awal tahun 90-an dan Marcell-pun mampu membawakannya dengan sangat apik, unik dan berbeda dari versi aslinya.

Album ini keseluruhan berisi sebelas lagu. Selain 'Takkan Terganti', 'Peri Cintaku', dan 'Sisa Semalam', dialbum ini ada beberapa materi baru seperti 'Cinta Untukmu' (ditulis oleh Toma Pratama), 'Melati' (ditulis oleh Mhala Numata), 'Dia Yang Kucinta' (ditulis oleh Tengku Shafick), 'Nusantaraku' (bertemakan kecintaan Marcell pada Bhinneka Tunggal Ika). Yang membuat menarik, Marcell juga berduet dengan salah satu solis wanita terbaik di negeri ini yaitu Dewi Sandra pada lagu berjudul 'Tanpa kata ciptaan Andi Rianto dan sutradara serta lyricist handal Monty Tiwa.. Tidak Hanya Dewi Sandra, Marcell juga berkolaborasi dengan Rayi Putra, anggota dari grup RAN di lagu 'Permainan Cinta'. Selain itu ada dua lagu lain yang juga merupakan 'cover version' yaitu lagu 'Mau Dibawa Kemana' yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Armada, dibawakan kembali dengan aransemen yang jazzy dan broadway-ish, sangat berbeda dari versi aslinya. Dan lagu lainnya adalah 'I Knew I Loved You' yg diakhir tahun 90-an dipopulerkan oleh grup Savage Garden dari Australia.

Album yang sangat ditunggu kemunculannya ini setelah tiga tahun dalam penantian, "And The Story Continues..." merupakan “cerita cinta” Marcell yang masih dan akan terus berlanjut. 'Indonesia masih membutuhkan cinta, bohong kalau bilang tidak', katanya mengutip pernyataan Yovie Widianto.

Album ini juga menjadi sangat spesial karena dibantu oleh penata musik Indonesia bertaraf Internasional yaitu Andi Rianto, yang ikut menggarap kesepuluh lagu dalam album ini. Selain kejeniusannya mengaransemen, Andi Rianto dipilih karena kepiawaiannya menciptakan 'efek visual' disetiap aransemennya, yang mampu membuat pendengarnya membayangkan sendiri jalan ceritanya di kepala masing-masing.

Selamat menikmati lanjutan cerita Marcell ini.

Saya (Akhirnya) Menulis (Lagi)




Apa kabar semuanya, sahabat-sahabat? Saya yakin kita semua dalam keadaan baik dan tak kurang suatu apapun saat ini. Sebelumnya, saya minta maaf sekali saya baru kali ini punya kesempatan untuk meng-update blog setelah dalam waktu cukup lama tidak terjadi perubahan yang sangat signifikan. Maapken daku, teman-teman. Karena banyak hal harus dikerjakan dan diperbaiki sehingga menyita waktu dan konsentrasi saya untuk kembali menulis lagi. Jujur sudah banyak hal terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini. Semuanya berlangsung begitu cepat namun padat secara konten. Dan karena begitu banyak dan padatnya inilah saya akan coba ceritakan nanti dalam posting-posting berikutnya. Selain biar tidak kepanjangan di-posting ini, juga supaya lebih fokus ceritanya. Semoga bisa mengobati kekangenan-kekangenan yang bergelora pada mahluk yang fana ini. :))

Semoga semua mahluk berbahagia.

Nasionalisme?

Saya bahagia sekali. Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 7 September 2009, saya telah menyelesaikan rekaman duet pertama saya dengan penyanyi solo wanita berbakat asal Malaysia, Dayang Nurfaizah di Kuala Lumpur, Malaysia. Proyek rekaman duet ini adalah proyek yang tertunda selama hampir 4 tahun dikarenakan masalah (basi) ‘birokrasi’ label. Kami menyanyikan sebuah lagu berjudul ‘Sayang’ yang diciptakan oleh seorang gitaris dan produser muda berbakat asal Malaysia, Omar Khan serta lirik yang ditulis oleh adiknya sendiri, Nuur Iman. Ditemani road manager saya dari Millionaires Club Management, Iraz Siregar serta dua sahabat saya Shaliza ‘Liza’ Kader Sultan (manajer Dayang Nurfaizah) dan Sharina Ahmad, dan dibantu Zain Almohdsar sang operator studio, kami berhasil menyelesaikan proses rekaman lagu itu dengan baik sekali.

Terima kasih sekali lagi dari hati yang paling dalam untuk Dayang, Liza, Sharina, Omar dan Zain atas kerendahan hati, keramah-tamahan, profesionalisme serta persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Selamat Hari Raya.

Ironis memang. Disaat dimana segelintir masyarakat (saya beranikan diri untuk mengatakan segelintir karena memang tidak semuanya) di negara saya tengah 'kebakaran jenggot' karena 'merasa' banyak ‘budaya’-nya dicuri, saya justru berkolaborasi. Banyak juga yang berkomentar atas keputusan saya karena merasa takut kerjasama kami suatu saat akan menjadi kontroversi. Saya tidak takut. Saya tidak terpengaruh. Peduli setan. Saya hanya melakukan suatu pekerjaan yang saya cintai dengan orang-orang yang juga saya cintai. Dan ini bukan sebuah bentuk tindakan yang kontra-nasionalis hanya karena saya melakukannya dengan orang Malaysia. Karena sekali lagi, tidak semua orang Malaysia berpikiran sempit. Dan tidak semua orang Indonesia kebakaran jenggot.

Ngomong-ngomong, apa sih sebenarnya nasionalisme?

Apakah dengan sok-sokan melakukan aksi '
sweeping' warga negara Malaysia yang dilakukan di daerah Menteng, Jakarta Pusat yang (memalukannya) ternyata hasilnya nihil karena tidak ada satupun orang Malaysia yang lewat? Apakah dengan berorasi sambil menyebarkan spanduk dan pamflet bertuliskan 'Malaysia=Malingsia'? Apakah dengan sok-sokan bakar-bakar bendera Malaysia (sedangkan di Malaysia tidak ada satupun yang melakukan hal yang sama) tanpa pernah memikirkan efeknya pada hubungan bilateral yang sudah terjalin baik sejak dulu? Apakah preman-preman (ya, PREMAN, karena mereka bukan aparat berwenang serta tidak punya dasar hukum yang kuat dan valid untuk melakukan sweeping sehingga lebih mirip tukang palak di terminal bis) kampungan yang melakukan sweeping ini memikirkan bahwa ada jutaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia dan tentunya ini akan berakibat buruk pada para pekerja Indonesia ini jika mereka dipulangkan? Karena saya yakin, preman-preman kampungan dan pahlawan-pahlawan pembela 'kebetulan' ini tentunya tidak akan pernah sanggup memberi makan (apalagi memberikan lapangan pekerjaan) kepada para TKI ini jika mereka dipulangkan. Ya, merekalah justru 'teroris-teroris' yang merusak citra bangsanya sendiri, yang membuat orang luar malas dan takut untuk datang ke Indonesia, yang membuat konser-konser musik mancanegara batal karena Travel Warning, yang membuat rupiah kita melemah, yang menyengsarakan rakyatnya sendiri.

Lebih sedihnya lagi, banyak aksi seperti ini dilakukan dan dimotori oleh 'mahasiswa' yang 'katanya' merupakan generasi intelek, generasi terdidik. Teman-teman mahasiswa, saya mohon dengan sangat: tolong jangan sampai kebablasan. Jangan keblinger. Jangan hanya berbekal pengalaman karena banyaknya revolusi fisik didalam sejarah negara kita yang terjadi karena dimotori mahasiswa, lalu kemudian menganggap bahwa segala-galanya harus diselesaikan dengan demonstrasi, dengan protes-protes fisik sampai konflik dengan aparat keamanan dan berakhir dengan tindakan-tindakan vandalis. Apapun itu, tindakan demonstrasi, protes-protes fisik dan (apalagi) tindakan-tindakan vandalis tetaplah menganggu stabilitas. Setiap manusia punya hak untuk hidup aman, tenteram dan tenang, teman-teman. Pikirkan mereka-mereka yang juga punya kepentingan yang lain diluar kalian, karena demonstrasi-demonstrasi ini juga seringkali menimbulkan kemacetan lalu lintas dan keresahan sehingga mengganggu banyak sekali kepentingan. Lakukanlah dengan sadar dan bijak, prosedural dan tertata. Semua ada jalurnya, aturannya. Jangan hanya rusuh dan emosional saja. Jangan sampai kata 'intelek' yang menjadi label mahasiswa kehilangan 'in' menjadi tinggal 'telek'-nya. Ingat, tindakan-tindakan seperti ini TIDAK SELAMANYA efektif. Kalau kemarin-kemarin mungkin dirasa efektif, belum tentu hari ini. Jadi
please, hati-hatilah, teman-teman mahasiswa. Karena reformasi yang keblinger, sesuci apapun tujuannya, akan tetap menyengsarakan banyak orang. Jangan perburuk lagi keadaan ini. Kasihan rakyat kita. Saya mohon.

Setiap orang punya cara pandang. Berbeda-beda memang. Tapi bukanlah cara pandang sempit dan terbelakang yang hanya berujung pada penderitaan.

Jangan reaktif. Pikir baik-baik sebelum bertindak. Jangan seperti anak kecil yang merengek dan langsung marah-marah, banting-banting barang ketika mainannya diambil. Padahal kalau mainannya tidak disentuh, anak itu juga lupa kalau dia pernah punya mainan. Jangankan diurus, diingatpun tidak. Saya merasa banyak dari kita yang bersikap seperti itu saat ini. Berlebihan dalam menanggapi apapun termasuk problematika budaya ini. Santai saja, tapi tetap waspada,
aware. Sikap emosional malah seringkali membuat kita kehilangan kewaspadaan kita, keajegan kita. Tetap terima kenyataan bahwa kita ini masih serumpun dan sama akar budayanya, suka atau nggak suka, enak nggak enak. Apresiatif.

Kemarin saya mendapat kesempatan berbicara dengan seorang musisi dan pencipta lagu senior yang juga seorang pakar Hak Cipta (
Intellectual Property Right) yang bernama James F. Sundah. Beliaulah pencipta lagu legendaris 'Lilin-lilin Kecil' yang pernah dinyanyikan oleh almarhum Chrisye dulu. Beliau berkata pada saya bahwa sekarang ini tengah terjadi perdebatan apakah Folklore atau Budaya Asli akan tetap dimasukkan kedalam kriteria Hak Cipta atau tidak. Selama ini Folklore sudah termasuk dalam perlindungan Hak Cipta dan kenyataan ini sebenarnya menyulitkan dalam pembuktian. Mengapa? Karena cukup sulit ternyata untuk menentukan originalitas budaya asli disebabkan banyaknya percampuran budaya. Banyak sekali kemiripan budaya kita bukan hanya dengan budaya bangsa serumpun saja tapi juga dengan bangsa-bangsa lain. Pulau-pulau yang tadinya bersatu, namun karena peristiwa alam, terpecah-pecah menjadi 13.000 lebih pulau. Ditambah lagi dengan proses fusi ataupun asimilasi budaya sebagai konsekuensi perdagangan dan persinggahan antar bangsa. Indonesia, karena memang sejak dulu sudah menjadi tempat persinggahan dan perdagangan antar bangsa, akhirnya memiliki 'budaya asli' yang kaya akan percampuran dengan berbagai macam budaya luar. Ada percampuran dengan budaya Cina, Arab, Portugis, dan banyak lagi. Dan percampuran itu bisa terlihat jelas dalam berbagai produk seni musik, tari, beladiri, bahasa dan sebagainya.

Makin sulit akhirnya menemukan dan mengklaim mana budaya asli kita dan mana yang bukan. Perbedaannya semakin tipis. Dan, arsip sejarah yang kita milikipun ternyata masih kalah lengkap dibandingkan arsip sejarah Indonesia yang tersimpan di Negeri Belanda, mantan 'penjajah' kita. Kita hanya punya data sekitar 40 persen dari data asli yang kesemuanya justru dimiliki dan tersimpan di negara lain. Sedih. Ternyata kita masih banyak belum tahu tentang diri kita. Lebih banyak tahu orang lain dibanding kita sendiri.

Beliaupun mengingatkan bahwa negara kita adalah negara hukum. Oleh karena itu kasus Tari Pendet (yang orang Indonesia sendiri kebanyakan tahunya Tari Bali, bukan Tari Pendet), kasus Batik, kasus Reog, semuanya adalah masalah hukum Hak Cipta karena kesemuanya termasuk
Folklore. Jadi, kasih kesempatan hukum yang menyelesaikannya. Kasih kesempatan untuk dilakukannya perundingan antar negara dengan jalan damai. Jangan kebanyakan protes dan bilang bahwa kondisi hukum kita sudah lemah dan rusak kalau pada kenyataannya saja kita sendiri masih meremehkan bahkan melanggar hukum, tidak menghormati. Masalah hukum adalah masalah kita bersama, bukan melulu masalah pemerintah. Beri kesempatan bagi hukum untuk bisa efektif ditegakkan. Bantu negara ini memperbaiki citra sebagai negara hukum yang bermartabat. Kalau memang pemerintah dinilai lamban dalam menyelesaikan masalah ini, tolong, pakailah cara-cara yang terhormat. Tunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang berbudaya dan intelek. Jangan hanya sekedar bangga bahwa kita punya banyak sekali budaya tanpa pernah mengerti dan mengakar. Sayapun setuju dan mengakui, walaupun nasionalisme hanyalah sebuah konsep, kita tetap memerlukannya. Penting untuk jati diri kita, supaya kita tidak dianggap remeh dan diinjak-injak. Tapi bukanlah jenis nasionalisme yang terbelakang, nasionalisme kosong yang kerap terjadi seperti sekarang ini. Bukan dengan melakukan tindakan-tindakan yang justru mempermalukan diri kita, bangsa kita sendiri. Kalau kita tidak ingin diremehkan dan diinjak-injak, jangan melakukan tindakan-tindakan yang justru meremehkan dan merendahkan kita, merusak jati diri kita.

Satu lagi: JANGAN MUDAH terpengaruh begitu saja pada media jurnalisme. Saya mampu katakan bahwa tidak semua media jurnalisme mampu dengan bijak dan seimbang dalam pemberitaan. Kitalah yang harus sadar dan cermat. Mana yang benar-benar berita, mana yang sekedar provokasi, ngompor-ngomporin, manas-manasin. Banyak media jurnalisme yang seharusnya memberikan informasi yang edukatif,  yang seharusnya melaksanakan sistem 
check and balance, malah menjadi menurun kualitas pemberitaannya karena terpengaruh oleh 'mental' media jurnalisme hiburan (baca: infotainmen) yang kini lebih sarat unsur-unsur komersil dan hiburan ketimbang edukasinya. Hati-hati, banyak menonton infotainmen bukan berarti mengubah mental kita menjadi berlebihan, dramatis dan 'lebay', kaan? Tetap gunakan nalar dan hati. Kesadaran tetap nomor satu agar kita tidak mudah terprovokasi.

Buat para pengguna laman f
acebook, bijaksanalah! Please, nggak usah buat grup-grup provokator di facebook atau nyebar-nyebarin thread yang isinya provokasi untuk melakukan 'ganyang-ganyangan'. Nggak usah nyebar-nyebarin kebencian. Kalo lo benci itu masalah lo sendiri, nggak usah ngajak-ngajak. Nggak semua orang harus ikut-ikutan benci. Gua nggak tertarik, prén. Sumpah. Jijay.

Oh ya, satu lagi bahan introspeksi: selain pembajakan yang memang menjadi tren di negeri ini, banyak iklan produk di TV yang menggunakan lagu-lagu tema yang mirip bahkan cenderung 'mencuri' dari lagu-lagu yang beredar diluar negeri. Bahkan ada satu produk makanan instan yang terang-terangan mengambil lagu dari sebuah grup musik dalam negeri kita (hiks!) tanpa pernah meminta ijin (apalagi membayar royalti) kepada grup musik penciptanya. Ya, saya tahu kalau mendapatkan
proper licensing dari sebuah lagu tentunya akan membuat biaya produksi membengkak karena harus bayar royalti. Tapi tolong dipikirkan: royalti adalah HAK, boss. Hak atas jerih payah dan kerja keras kita, para musisi. Sama-sama cari makan kita, boss. Masih pada kurang puas juga? Ingat, menjiplak, ya tetap menjiplak. Mencuri ya tetap mencuri. Tidak hanya dihitung berdasarkan berapa not yang kita ambil, berapa nada yang kita jiplak, tapi juga substansi lagunya. Dengan adanya unsur kemiripan yang menimbulkan kesan atau mengingatkan seseorang akan lagu tertentu, sebenarnya sudah mampu dijadikan dasar untuk menggugat pelanggaran hukum ini.

Well, sebenernya nggak perlu marah-marah berlebihan ketika budaya kita, karya kita dicuri orang lain karena kitapun ternyata masih belum mampu menghargai hak intelektual orang lain bahkan hak intelektual bangsa sendiri. Kita masih menjiplak, membajak, mencuri karya bangsa sendiri, mengeruk keuntungan finansial daripadanya. Kita menikmati hasil jiplakan, bajakan dan curian beserta turunan-turunannya. Jangan berbicara nasionalisme secara berlebihan dulu, deh. Nggak perlu menjadi manusia-manusia yang ultra-nasionalis kalo ternyata yang kita bela mati-matian adalah bangsa yang kebanyakan orang-orangnya masih berprofesi sebagai pembajak-pembajak profesional. 
PERBAIKI DIRI LEBIH DULU, nggak usah 'lebay' :)

Introspeksilah, mungkin ini buah dari karma yang kita semua lakukan.

Semoga semua mahluk berbahagia.

Terima kasih semesta atas perjalanan hari ini.

Terima kasih, oom James! :)

"Nasionalisme untuk negara ini adalah pertanyaan." - koil -

Puasa

Bulan puasa. Toko-toko yang mendadak menjadi cepat sekali tutup. Pengemis dan pengamen (baca: orang-orang yang tidak terlalu ingin untuk bekerja keras) makin banyak berkeliaran dijalan-jalan. Pengendara kendaraan bermotor yang mendadak jauh lebih beringas dan agak sedikit lupa aturan ketika waktu mendekati pukul 6 sore. Kemacetan lalu lintas yang lebih kompleks. Konsentrasi kerja yang menurun. Mobilitas yang melambat. Emosional dan sensitif. Banyak excuses yang tidak perlu. 

Lepas dari segala fenomena diatas tetaplah bulan puasa adalah bulan penuh berkah. Mengapa penuh berkah? Karena dibulan ini kita diberi kesempatan ‘lebih’ untuk introspeksi. Ada yang komentar: 'Lho, bukannya introspeksi itu harusnya setiap hari? Nggak usah nunggu bulan puasa kaliii?' Saya jawab: Iyaa, makanya saya bilang ‘lebih’ karena dibulan ini kita (ceritanya) difokuskan, diniatkan lebih serius lagi :)

Dalam pendapat saya bulan puasa adalah bulan dimana kita semua (saya tekankan: SEMUA) belajar untuk introspeksi, belajar untuk apresiatif yang akhirnya menjadikan kita bijaksana dan seimbang. Momen ini penting bukan hanya untuk saudara-saudara saya yang muslim tapi juga saya beserta saudara-saudara saya yang non-muslim. Kita latihan bersama-sama sebenarnya.

Berpuasa atau tidak berpuasa kedua-duanya adalah sama-sama pilihan bebas yang harus dihormati dan dihargai.

Yang berpuasa menyadari bahwa yang dikuatkan dalam menjalankan ibadah puasa adalah iman terhadap godaan serta keteguhan hati untuk menerima kenyataan bahwa banyak juga orang lain yang tidak berpuasa. Keteguhan hati untuk memberikan keleluasaan kepada orang lain untuk memilih jalannya masing-masing, apakah mau berpuasa atau tidak berpuasa. Agak menjadi lucu memang ketika orang yang tidak berpuasa harus menerima ‘teguran’ dari orang-orang yang berpuasa ketika kedapatan sedang makan dibulan puasa. ‘Hargain dong orang puasa! Jangan makan depan orang puasa!’ begitu protesnya. Lucu.

Yang tidak berpuasa juga menyadari bahwa banyak yang memilih untuk berpuasa. Apresiatif. Bukan toleransi saja. Mengertilah lebih. Bahwa pada kenyataannya akan banyak orang menjadi tidak terlalu kreatif, menjadi emosional dan sensitif karena menahan lapar dan lelah ketika berpuasa. Kata-kata seperti: ‘Lo yang puasa ya masalah lo! Siapa juga yang nyuruh? Kalo nggak kuat ya jangan puasa!’ tidak perlu hadir dalam kenyataan. Inilah momen melatih kesabaran. Jangan mengharap lebih. Harapan berlebihan hanya akan menimbulkan penderitaan dan konflik-konflik yang tidak perlu.

Introspeksi, sesuai namanya, adalah proses kedalam dan bukan keluar. Jadi tidak pada tempatnya kalau kita menyalahkan segala sesuatu yang berada diluar diri kita. Kontra indikatif.

Kalau iman mau dikuatkan, SEBENARNYA bukan restoran atau diskotiknya yang ditutup, bukan alkohol yang dimusnahkan, bukan pelacuran atau perjudian yang dibubarkan, tapi IMAN (baca: kesadarannya, mentalitasnya) yang harus dilatih. Contoh paling ekstrim: kenapa pelacuran dan perjudian masih ada? Jawabannya sederhana: Hukum Ekonomi.
Supply and Demand. Pelacuran dan perjudian masih ada karena masih ada demand, masih ada permintaan, masih banyak fans-nya. Supply akan berhenti dengan sendirinya kalau demand makin sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.

Bagaimana cara mengurangi atau bahkan ‘mematikan’
demand-demand ‘ajaib’ ini? Yang paling efektif adalah latihan kesadaran. Keteguhan iman-nya yang dikuatkan, mentalitasnya yang dikokohkan, pola pikirnya yang dibersihkan. Bukan godaannya yang dihancurkan dan dihilangkan. Kalau setiap kali kita ingin meneguhkan iman dengan cara menghancurkan segala godaan lalu apa guna dan manfaat latihan meneguhkan iman? Dimana makna latihannya? Nggak ada.

Ada yang protes: ‘Tapi dengan menutup pelacuran dan perjudian kan juga salah satu upaya menutup kemungkinan suatu ‘dosa’ dibuat? Jadi nggak salah dong kalo kita nutup pelacuran dan perjudian?’ atau pernyataan ‘Melacur itu bukan pekerjaan!’ (dengan mengenyampingkan fakta dan menyangkal bahwa melacur sebagai mata pencaharian sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, lepas dari halal atau tidaknya). Iya bener kok. Nggak salah. Tapi tetaplah berhati-hati dan jangan merasa sudah menang. Bukan hanya dengan membangun tempat-tempat ibadah di sekitar pelacuran dan berharap semua pelacur kemudian bertobat. Atau dengan memberikan mereka keterampilan bekerja dan berharap mereka akan meninggalkan pelacuran dan memulai kerja yang lebih halal. Tidak semudah itu, kawan. Karena dengan menutup pelacuran dan perjudian tentunya juga menimbulkan konsekuensi lain yang tidak kalah mengerikannya bahkan lebih mengerikan dari pelacuran dan perjudian itu sendiri. Faktanya justru pelacuran dan perjudian malahan menjadi makin liar tidak terkendali, penyakit karena hubungan seksual merajalela dan semakin sulit dikontrol, banyak orang yang hidupnya dan keluarganya hancur berantakan karena pelacuran dan perjudian.

Masalah-masalah ini sekali lagi erat hubungannya dengan keteguhan iman kita, mentalitas kita. Kasarnya, kalau memang mentalnya suka melacur, apapun pasti akan dilacurkan, bahkan anak sendiripun kalau perlu dijual dan diperkosa. Kalau mentalnya memang sudah doyan judi, apapun bisa dijudikan. Kalau mentalnya memang doyan mabuk, alkohol dari apotek dicampur dengan 
soft drinks-pun pasti akan memuaskan keinginan untuk mabuk. Jadi kembali lagi: ini masalah MENTAL. Tidak lain dan tidak bukan, bukan?

Introspeksi dan latihan kesadaran sama-sama yuk. Jangan kebanyakan nyalahin orang atau nyalahin keadaan diluar diri kita. Kuatkan mental kita, iman kita, kesadaran kita.

Sekali lagi, bulan puasa adalah bulan penuh berkah. Puasalah dengan tulus. Tanpa pamrih. Anggaplah pahala itu tidak pernah ada, jadi kita bisa mengerti arti ketulusan. Puasa yang bukan hanya mengharapkan pahala saja. Tidak mengharapkan kembali. Jangan takut melewati kegagalan karena masih ada sebelas bulan yang lain untuk terus berlatih menjadi lebih baik. Selamat menunaikan ibadah puasa, saudara-saudaraku.

Terima kasih semesta untuk perjalanan hari ini.

Semoga semua mahluk berbahagia

P.S. Saya pernah mendengar pengakuan polos seorang tukang cukur ketika saya sedang bercukur. Dia bilang kalau dia sengaja tidak tidur malam dan langsung menyambung dengan sahur. Setelahnya dia bisa tidur dan bangun sekitar jam 3 siang sambil menunggu buka puasa. Enak banget puasanya. Menurut anda gimana? :)